BISNIS
INTERNASIONAL ( Hutang Negara Kedua dan Negara Ketiga )
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bisnis internasional sering sekali
kita mendengar di kehidupan sehari-hari atau dalam benak kita dapat
mengartikannnya bahwa seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang mampu
memasarkan produknya hingga ke Negara lainnya yang membutuhkan produk tersebut.
Bisnis internasional tidak dapat dihindarkan setiap Negara untuk melakukan
perdagangan internasional, dikarenakan sumber daya yang dimiliki setiap Negara
berbeda-beda, tetapi kebutuhan semakin mengglobalisasi diera modern sekarang
ini.
Dikarenakan kompleksnya kebutuhan
umat manusia sekarang ini, bisnis internasional anatar Negara tidak dapat
dielakan demi kelansungan berjalannya suatu Negara. Misalnya Negara-negara
dunia kedua dan Negara dunia ketiga. Istilah Negara dunia kedua dan Negara
dunia ketiga dipakai pada perang dunia II yang mana adanya dukungan antar
Negara dan ketergantunngan di masa peperangan dahulu. Hal ini berlanjut hingga
saat ini, dimana untuk mendapatkan kebutuhan masyarakat suatu Negara tidak lagi
menggunakan istilah angkat senjata, melainkan dengan jual beli dan perdagangan
antar Negara atau bisnis internasional.
Berawal
pada masa perang dingin atau cold war (Perang Dunia ke-2). Pada masa itu
keadaan dunia benar-benar kacau. Dan pada akhir perang, peta kekuatan dunia
terbelah menjadi dua kubu besar. Kedua kubu tersebut saling bertolak belakang
baik dalam pemerintahan dan pandangan sikap politik. Adapun kubu atau blok yang
terbentuk iyalah blok barat dan blok timur. Blok barat biasa disebut dunia
pertama, sedangkan blok timur disebut dunia kedua. Dunia Ketiga adalah
negara-negara yang tidak berpihak pada kedua kubu besar di atas. Blok
Timur adalah lawannya kubu blok barat. Kalau di blok barat pemeran utamanya
adalah Amerika Serikat, tapi kalau di blok ini iyalah Uni Soviet (Rusia
sekarang). Kubu ini beraliran komunis-sosialis. Uni Soviet di dukung oleh
negara-negara Eropa Tengah dan Timur, seperti: Timur (Bulgaria, Cekoslovakia,
Jerman Timur, Hungaria, Polandia, Romania, dan Albania. Pendukung lain yang
berada di luar Eropa juga ada yaitu Cina dan Kuba. Kumpulan grup ini selain
disebut sebagai blog timur dan dunia kedua, tapi juga disebut Pakta Warsawa
(Aliansi Militer yang dipimpin Uni Soviet) dan Comecon (Organisasi ekonomi
negara-negara komunis). Dunia Ketiga ini biasanya adalah negara-negara bekas
jajahan atau kolonial, yang umumnya terdiri dari negara sedang berkembang,
negara kurang berkembang dan juga beberapa negara yang miskin. Istilah ini juga
kadang-kadang diambil yang identik dengan negara-negara dalam Gerakan Non-Blok.
Berdasarkan
uraian diatas bahwa kita bias menilai bahwa Negara kita Indonesia masuk dalam
kategori Negara dunia ketiga yang mana ekonimi kita tergantung pada Negara
dunia kedua yaitu tiongkok. Sebagai Negara berkembang Indonesia banyak
berbisnis dengan Negara-negara lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Tak
hanya itu, Indonesia juga dalam menjalankan bisnisnya juga tidak terlepas dari
hutang, yang sering disebut dengan hutang luar nageri Indonesia.
Dengan
demikian, dalam kesempatan kali ini saya akan membahas bisnis internasional
(hutang Negara kedua dan ketiga).
B.
Rumusan Masalah
Bisnis internasional antara bangsa
dewasa ini tidak dapat dielakan lagi dikarenakan factor kebutuhan masyarakat
setiap Negara yang semakin meningkat sepanjang tahunnya, baik masyarakat Negara
dunia kedua dan dunia ketiga. Maka dari itu saya mengangkat masalah pada
makalah saya ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian dari bisnis internasional?
2. Apa
hakikat bisnis internasional?
3. Apa
pengertian Negara kedua dan ketiga?
4. Bagaimana
hutang Negara kedua dan ketiga dalam bisnis internasional?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertian dari bisnis internasional.
2. Untuk
mengetahui hakikat bisnis internasional.
3. Untuk
mengetahui pengertian Negara kedua dan ketiga.
4. Untuik
mengetahui bagaimana hutang Negara kedua dan ketiga dalam bisnis internasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Bisnis Internasional
Bisnis Internasional
adalah bisnis yang kegiatan-kegiatannya melewati batas-batas negara. Definisi
ini tidak hanya termasuk perdagangan internasional dan pemanufakturan di luar
negeri, tetapi juga industri jasa yang berkembang di bidang- bidang seperti
transportasi, pariwisata, perbankan, periklanan, konstruksi, perdagangan
eceran, perdagangan besar dan komunikasi massa.
Kita sering mendengar kata “bisnis” dalam kehidupan kita
sehari-hari. Kata “bisnis” berasal dari bahasa Inggris yaitu “business”,
yang diambil dari kata “busy”, yang berarti sibuk. Jadi bila melihat
pola bahasanya, kata “business” bisa diartikan sebagai kesibukan.
Pengertian tersebut mungkin tidak tepat bila digunakan sekarang ini karena
“bisnis” diasosiasikan sebagai aktivitas ekonomi. Sedangkan kata internasional
yang diambil dari bahasa Inggris “international” artinya menyangkut
bangsa atau negara di seluruh dunia; antarbangsa. Jadi bisnis internasional
secara bahasa adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan antarbangsa.
Donald A Ball (2004) mendefinisikan bisnis internasional
sebagai bisnis yang kegiatan-kegiatannya melewati batas-batas negara. Definisi
ini tidak hanya termasuk perdagangan internasional dan perusahaan manufaktur di
luar negeri tetapi juga industri jasa yang berkembang di bidang-bidang seperti
transportasi, pariwisata, periklanan, konstruksi, perdagangan eceran,
perdagangan besar dan komunikasi massa. Beberapa definisi lain yang terkait
dengan bisnis internasional antara lain:
Bisnis
luar negeri berarti operasi-operasi domestik di dalam sebuah negara asing.
Perusahaan
multidomestik (multidomestic company-MDC) adalah sebuah organisasi
dengan cabang-cabang di banyak negara, yang masing-masing cabang merumuskan
strategi bisnisnya sendiri berdasarkan perbedaan-perbedaan pasar yang dipahami.
Perusahaan
global (global company-GC) adalah organisasi yang berupaya untuk melakukan
dan memadukan operasi-operasi di seluruh dunia dalam bidang fungsional.
Perusahaan
internasional (international company-IC) merujuk pada
perusahaan-perusahaan global maupun multidomestik.
Transaksi bisnis dilakukan oleh suatu negara dengan negara
lain yang dikenal dengan perdagangan internasional (international trade).
Dilain pihak, transaksi bisnis dilakukan pula oleh suatu perusahaan dalam satu
negara dengan perusahaan lain atau individu di negara lain yang disebut
pemasaran internasional (international marketing) yang kemudian
diartikan sebagai bisnis internasional.
2.
Hakikat Bisnis Internasional
Seperti tersebut diatas bahwa Bisnis
internasional merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan melewati batas negara.
Transaksi bisnis seperti ini merupakan transaksi bisnis internasional
(International Trade). Transaksi bisnis itu dilakukan oleh suatu perusahaan
dalam suatu negara dengan perusahaan lain atau individu di negara lain disebut
Pemasaran Internasional atau International Marketing. Pemasaran internasional
berbeda dengan Bisnis Internasional, yaitu :
·
Perdagangan
Internasional (International Trade)
Dalam perdagangan internasional yang merupakan transaksi
antar Negara itu biasanya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara
ekspor dan impor. Dengan adanya transaksi ekspor dan impor tersebut maka timbul
neraca perdagangan antar negara (balance of tread).
Suatu Negara dapat memiliki surplus seraca perdagangan atau
devisit neraca perdagangannya. Neraca perdagangan yang surplus menunjukan
keadaan dimana Negara tersebut memiliki nilai ekspor yang lebih besar
dibandingkan dengan nilai impor yang dilakukan dari negara partner dagangnya.
Dengan neraca perdagangan yang mengalami surplus ini maka apabila keadaan yang
lain konstan maka aliran kas masuk ke Negara itu akan lebih besar dengan aliran
kas keluarnya ke Negara partner dagangnya tersebut. Besar kecilnya aliran uang
kas masuk dan keluar antar negara disebut neraca pembayaran (balance of
paymnets). Jika neraca pembayaran mengalami surplus, dikatakan bahwa negara
mengalami pertambahan devisa. Sebaliknya apabila negara itu mengalami devisit
neraca perdagangannya maka berarti nilai impornya melebihi nilai ekspor yang
dapat dilakukannya dengan negara lain. Jadi, negara tersebut mengalami devisit
neraca pembayaran dan menghadapi pengurangan devisa Negara.
·
Pemasaran
International (International Marketing)
Pemasaran internasional yang merupakan keadaan suatu
perusahaan dapat terlibat dalam suatu transaksi bisnis dengan negara lain,
perusahaan lain ataupun masyarakat umum di luar negeri. Transaksi bisnis
internasional ini pada umumnya merupakan upaya untuk memasarkan hasil produksi
di luar negeri.
Dalam hal ini maka pengusaha akan terbebas dari hambatan
perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor impor. Dengan
melaksanakan kegiatan produksi dan pemasaran di negeri asing maka tidak terjadi
kegiatan ekspor impor. Produk yang dipasarkan dapat berupa barang dan/ atau
jasa. Transaksi ini dapat ditempuh dengan cara:
· Licencing
· Franchising
· Management
Contracting
· Marketing
in Home Country by Host Country
· Joint
Venturing
· Multinational
Coporation (MNC)
Semua bentuk transaksi internasional memerlukan transaksi
pembayaran yang sering disebut fee. Negara (Home Country) harus membayar,
sedangkan pengirim (Host Country) memperoleh fee tersebut. Pengertian
perdagangan internasional dengan perusahaan internasional sering dianggap sama,
padahal berbeda. Perbedaan utama terletak pada perlakuannya dimana perdagangan
internasinol dilakukan oleh negara sedangkan pemasaran internasional adalah
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang menentukan kegiatan bisnis yang
lebih aktif, lebih progresif dibandingkan perdagangan internasional.
3.
Negara Dunia Keduan dan Ketiga
Negara Dunia Kedua mengacu pada mantan
negara-negara Sosialis, negara-negara industri (secara resmi Blok Timur),
sebagian besar wilayah dan pengaruhnya berasal dari Uni Soviet.
Setelah Perang Dunia Kedua, ada sembilan belas negara
komunis, dan setelah jatuhnya Uni Soviet, hanya lima negara sosialis
tetap yaitu: Tiongkok,
Kuba, Laos, Korea Utara
dan Vietnam.
Seiring dengan istilah "Dunia Pertama"
dan "Dunia Ketiga", istilah-istilah tersebut
digunakan untuk membagi bagian negara di bumi dalam tiga kategori besar. Dengan kata lain, konsep
"Dunia Kedua" adalah karena Perang Dingin dan istilah ini sebagian
besar telah runtuh dari penggunaannya karena revolusi 1989,
meskipun masih digunakan untuk menggambarkan negara-negara yang berada di
antara kemiskinan dan kemakmuran, banyak dari yang sekarang menjadi
negara-negara kapitalis. Selanjutnya, makna sebenarnya dari istilah "Dunia
Pertama", "Dunia Kedua" dan "Dunia Ketiga" berubah
dari yang berbasis pada ideologi politik menjadi definisi ekonomi negara. Teori
tiga dunia telah dikritik karena dinilai kurang baik dan relativitas usang
untuk pengkategorian lewat angka (1, 2, 3) dan sosiolog telah menciptakan
istilah "maju", "berkembang", dan "terbelakang"
sebagai istilah pengganti untuk stratifikasi global yang bagaimanapun, teori
tiga dunia masih populer di sastra kontemporer dan media. Hal ini juga dapat
menyebabkan variasi semantik antar istilah yang menggambarkan entitas politik
suatu daerah dan masyarakatnya.

Dunia Ketiga
adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh seorang demografer
Perancis
Alfred Sauvy untuk
membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat
ataupun Blok Soviet
pada masa Perang Dingin. Namun sekarang ini istilah ini
sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang mempunyai Indeks
Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik mereka
(artinya bahwa Republik Rakyat Tiongkok, Rusia dan Brasil,
yang semuanya saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali
disebut Dunia Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia
Ketiga atau "negara Dunia Ketiga" dan penggunaan istilahnya tetap
lazim.
Sebagian orang
di lingkungan akademis
menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis, diskriminatif
dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan. Pada umumnya,
negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara-negara industri
atau yang maju dari segi teknologi seperti negara-negara OECD, dan karena itu di
lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu
"negara berkembang". Istilah-istilah seperti "Selatan yang
Global", "negara-negara yang kurang makmur", "negara
berkembang", "negara yang paling kurang maju" dan
"Dunia Mayoritas"
telah semakin populer di kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia
Ketiga" mengandung konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman. Para
aktivis pembangunan juga menyebutnya Dua Pertiga Dunia (karena dua pertiga
dunia tertinggal di dalam pembangunan) dan Selatan. Istilah Dunia Ketiga juga
tidak disukai karena istilah ini menyiratkan pengertian yang keliru bahwa
negara-negara tersebut bukanlah bagian dari sistem ekonomi global. Sebagian
orang mengklaim bahwa ketertinggalan Afrika,
Asia dan Amerika Latin
pada masa Perang Dingin dipengaruhi, atau bahkan
disebabkan oleh manuver-manuver ekonomi, politik, dan militer pada masa Perang
Dingin yang dilakukan oleh negara-negara yang paling kuat saat itu.
4. Hutang Negara kedua dan
ketiga dalam bisnis internasional
Dalam memenuhi kebutuhan
masyarakatnya yang banyak, setiap Negara tidak dapat mengelakan ada perdagangan
atau bisnia internasional antar Negara. Baik Negara dunia pertama hingga Negara
dunia ketiga saling memiliki ketergantung satu sama lain. Hal ini dapat
disebabkan setipa Negara saat ini dapat menjalin kerja sama dan berdiplomatik.
Bahkan Negara berkembang terkadang harus mengutang terhadap Negara lain untuk
memenuhi kebutuhan akan negaranya. Dari sini lah adanya utang setiap Negara
yang miskin dan berkembang.
Sejarah munculnya
krisis utang luar negeri adalah baru; setidaknya setelah Perang Dunia Kedua.
Pasca Perang Dunia Kedua, para pemerintah di negara-negara utara, bank-bank
swasta serta lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF
memberikan pinjaman utang kepada negara-negara dunia ketiga (Amerika Selatan,
Afrika dan Asia) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur maha besar seperti
jalan tol, bendungan, gedung-gedung mewah, pelabuhan, dan lainnya. Mayoritas
negara-negara dunia ketiga pada waktu itu juga berambisi untuk mentranformasi
status masyarakat mereka; dari masyarakat agrarian ke masyarakat industrialis;
menciptakan lapangan kerja bagi rakyat; membangun infrastruktur seperti jalan
raya, lapangan terbang, pelabuhan, bendungan, etc; menyediakan pelayanan
kesehatan, pendidikan dan air bersih; serta mimpi nan indah lainnya. Untuk
merealisasi mimpi-mimpin tersebut, negara-negara yang baru merdeka pada saat
itu berpaling kepada Bank-Bank Swasta dan negara-negara barat untuk mendapatkan
pinjaman luar negeri, dengan harapan bahwa hasil penjualan sumber daya alam
mereka nantinya, akan digunakan untuk membayar kembali utang tersebut.
Kemudian mulai
tahun 1970-an, Bank-Bank swasta di Eropa Barat dan Amerika Utara juga mulai
meningkatkan partisipasi mereka dalam hal pinjaman luar negeri secara drastis.
Alasan utama bank-bank swasta ini untuk meningkatan keterlibatan mereka adalah
mereka melihat bahwa memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk
menginvestasikan uang mereka dalam bentuk “Eurodollar.” Antara tahun 1960-an
hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali
lipat; dari 10 milliar USD sampai sampai 110 milliar USD. Untuk negara-negara
Amerika Selatan saja, antara tahun 1950-an hingga 1970, mereka menerima sekitar
20 milliar USD dalam bentuk utang luar negeri.
Ketika terjadi
krisis minyak global pada tahun 1973, Negara-negara penghasil atau pengekspor
minyak menerima uang dalam jumlah yang besar dari hasil penjualan minyak
mereka. Di sisi lain, negara-negara pengimpor minyak menghadapi defisit dalam
anggaran mereka karena melonjaknya harga minyak yang berdampak pada pelonjakan
harga bahan-bahan sembako. Situasi ini sangat menguntungkan para bank-bank
swasta di Amerika Utara dan Eropa Barat. Karena di satu sisi, negara-negara pengimpor
minyak membutuhkan pinjaman untuk menutup defisit anggaran mereka; di sisi
lain, negara-negara penghasil atau pengekspor minyak yang pendapatannya
meningkat drastis, sebagian dari pendapatan mereka ditabung di Bank-Bank swasta
di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Demi
meningkatkan keuntungan mereka, bank-bank ini kemudian menurunkan tingkat bunga
mereka dan memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Yang menarik
adalah bank-bank ini memberikan pinjaman agar negara-negara berkembang dapat membeli
bahan-bahan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Salah satu
contohnya adalah pada tahun 1970-an, 42% dari bahan konstruksi Inggris dan 32%
dari industria textile Inggris dipasarkan di negara-negara berkembang. Contoh
lain adalah Bank Expor-Impor Amerika, memberikan pinjaman kepada negara-negara
Amerika Selatan agar mereka memberikan pesawat dari Amerika Serikat, untuk
mempromosikan ekonomi yang berorientasi ekspor. Bagi bank-bank swasta Amerika,
alasan ekonomisnya jelas: memperluas pasar dan peningkatan keuntungan, karena
terjadinya perubahan terhadap pasar domestik di Amerika Serikat. Selain alasan
ekonomis, pinjaman luar negeri juga digunakan untuk sebagai salah satu strategi
untuk menghambat meluasnya pengaruh komunis; melalui apa yang disebut dengan
Containment Policy. Secara global kebanyakan negara yang mendapat
pinjaman dari Amerika Serikat adalah diktator, yang juga merupakan
boneka-boneka Washington, sehingga para kreditor percaya bahwa para negara
penerima utang akan menggunakan kembali uang tersebut untuk membeli peralatan
militer dari Amerika Serikat.
Dua negara yang
menarik untuk dilihat adalah Indonesia dan Meksiko. Indonesia, salah satu
negara yang kaya akan sumber daya alam, juga tidak terlepas dari jerat utang
luar negeri. Ketika Soekarno digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1965,
negara-negara barat langsung bereaksi dengan memberikan bantuan dalam bentuk
“Aid” untuk membantu pemulihan ekonomi. Kemudian diikuti dengan 534 juta dollar
dalam bentuk utang, dengan rencana bahwa akan dibayar bersama bunganya setahun
kemudian. Sebuah perhitungan yang tidak dapat terealisasikan. Yang terjadi,
utang Indonesia, justru meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya pada
tahun 1970, utang luar negeri Indonesia adalah 3.7 miliar USD, dan pada tahun
2002, utang luar negeri US melonjak sampai 78.9 milliar USD.
Selain Indonesia, salah satu
negara yang menarik untuk dilihat dalam kaitannya dengan kasus Timor-Leste
adalah Meksiko. Antara tahun 1977 hingga 1979, Meksiko berutang 88 Milliar USD.
Dari angka di atas hanya 14.3 milliar USD atau 16.25% yang digunakan di dalam
negeri; sementara 73.7 milliar USD atau 83.75% digunakan untuk membeli bahan
dari negara lain. Karena Mexico adalah negara yang kaya akan minyak, ketika
terjadi krisis minyak global, negara ini tidak mengeluarkan banyak uang untuk
mengimpor minyak. Namun tujuan utama untuk meminjam adalah untuk mengembangkan
industry minyaknya, dengan sebuah perhitungan bahwa meningkatnya harga minyak
akan memberikannya pendapatan yang banyak untuk membayar kembali utang. Sebuah
perhitungan yang kemudian ikut membawa Mexico ke dalam krisis utang; karena
pada tahun 1980-an harga minyak global jatuh di pasar internasional.
Pada tahun 1979, terjadi
perubahan kebijakan finansial di Washington, dimana Paul Volcker, kepada
Federal Reserve menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi di U.S.
Meskipun diakui bahwa Ia tidak berniat untuk membawa negara-negara peminjam ke
dalam krisis utang, tetapi keputusan ini membawa malapetaka bagi negara-negara
peminjam. Bunga utang Meksiko naik tiga kali lipat, dari 2.3 milliar USD
menjadi 6.1 milliar USD. Menurut para ekonom, negara-negara Amerika Selatan
membayar 100 milliar USD lebih banyak antara tahun 1976 hingga 1985, untuk
bunganya saja, sebagai konsekuensi dari keputusan ini. Dampak lain dari
kebijakan Washington adalah jatuhnya bahan-bahan komoditas di pasaran pada
tahun 1980-an. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari Argentina jatuh dari
2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula dari Brazil dan
negara-negara Karibian jatih dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada tahun 1982.
Jatuhnya harga barang-barang eksport ini menurunkan daya negara-negara peminjam
untuk membayar utang. Fenomena yang serupa juga dirasakan oleh negara-negara
Afrika, dimana bahan-bahan eksport utama mereka anjlok di pasaran
internasional; situasi yang membuat mereka mustahil untuk mengembalikan utang.
Dengan keadaan global tersebut,
negara-negara dunia ketiga kemudian terjerumus ke dalam sebuah krisis utang
yang terus berlanjut hingga sekarang, dan terus menguras negara-negara dunia
ketiga. Diawali dengan Mexico; negara yang juga kaya akan minyak, pada awalnya
mengimpikan bahwa hasil expor minyaknya akan dapat digunakan untuk membayar
kembali utangnya, pada tahun 1982, menyatakan menyerah dan tidak dapat membayar
kembali utangnya; kemudian menyerat ke negara-negara berkembang lainnya.
Sebagai reaksi
terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika
Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural
Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasiskan apa yang disebut dengan
Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin
mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi
atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi
yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam
ekonomi, dan privatisasi sector-sektor publik.[ix] Kepercayaan yang melandasi kebijakan ini
adalah bahwa “peranan Negara dalam ekonomi harus dikurangi, dan keterbukaan
ekonomi untuk dunia luar adalah komponen penting dari konsensus neo-liberal;
pemerintah harus mengurangi atau menghapus semua aturan, privatasisi terhadap
perusahaan-perusahaan Negara atau publik dan beralih dari Industrialisasi
Subtitusi Impor menuju ke strategi yang berorientasi kepada ekspor.”[x] Dalam konteks yang lebih luas,
mengharuskan Pemerintah Negara-negara yang memperoleh utang untuk mengurangi
pengeluaran pemerintah untuk mengontrol inflasi; melakukan liberalisasi
terhadap impor dan menghapus semua hambatan-hambatan bagi investasi asing;
privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Negara; mengurangi nilai mata
uang dan mengurangi atau menghapus semua peraturan yang melindungi buruh lokal.
Selain itu,
peranan IMF dan Bank Dunia ditingkatkan dalam manajemen utang luar negeri,
dengan menjadi agen penting dalam pembangunan; dan juga memformulasikan
kebijakan ekonomi pemeritntah di Negara-negara berkembang yang memperoleh
pinjaman dari IMF atau Bank Dunia; semua peranan yang diakui belum dimainkan
oleh IMF sebelumnya. Hingga akhir tahun 1970-an, sekitar 70 negara berkembang
yang telah mengikuti nasehat Bank Dunia dan IMF. Seperti yang diakui oleh
Bello, selain untuk membayar kembali utang luar negeri kepada Negara-negara
utara, menghancurkan system ekonomi yang berbasiskan pada peran Negara, juga
adalah tujuah strategis dari doktrin ini.
Program
restrukturisasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan antara
Negara-negara berkembang dan Negara-negara industry maju. Program ini dirancang
khusus untuk tujuan spesifik; diantaranya untuk memastikan bahwa negara-negara
peminjam akan mengembalikan utang; untuk meningkatkan aliran barang dari
Selatan ke Utara; dan meningkatkan kontrol terhadap pasar di negara-negara Selatan
untuk produk-produk dari Utara. Secara singkat, Pablo Davalos menguraikan
program Structural Adjustment sebagai “sebuah proses global yang mendefinisikan
kekuasaan geopolitis dan pre-eminence capital keuangan;” dimana bertujuan untuk
memastikan control, dominasi kepemilikan dan penggunaan sumber daya alam dan
persedian buruh.” Dengan kata lain, semua program ini dirancang khusus untuk
memastikan pengontrolan terhadap ekonomi negara-negara Selatan. Dengan
demikian, beberapa kalangan menilai utang luar negeri sebagai tidak lebih dari
sebuah sebuah bentuk kolonialisme baru paska Perang Dunia Kedua.
Konsekuensi
yang ditimbulkan oleh krisis utang luar negeri pada tahun 80-an sangat
menyedihkan bagi Negara-negara berkembang. Secara ekonomis, meskipun Negara-negara
yang berutang tersebut berusaha untuk membayar kembali utang mereka, justru
mereka terjerumus ke dalam siklus utang yang sangat menyedihkan, sehingga
ekonom menguraikan decade 80 sebagai “lost decade” bagi Negara-negara
berkembang. Secara global, utang luar negeri negara-negara berkembang bertambah
dari 639 miliar USD ke 1.341 milliar USD pada tahun 1990; dan terus meningkat
dari tahun ke tahun hingga sekarang. Untuk Amerika Selatan saja, utang mereka
bertambah dari 280 milliar USD ke 435 miliar USD pada tahun 1993.
Di Afrika,
melalui SAP, negara-negara Afrika dipaksa untuk memotong anggaran untuk
kesehatan, pendidikan serta sector palayanan sosial lainnya; melakukan
privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik negara, menghapus semua aturan
yang bertujuan untuk melindungi produk-produk dalam negeri dan buruh lokal,
serta membuka pasar bagi investasi asing. Dari banyak kajian yang dilakukan,
program restrukturisasi yang diimpose oleh Bank Dunia dan IMF, realitas yang
terjadi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan; justru menambah kemiskinan dan
kemelaratan rakyat Afrika. Bahkan hal ini sendiri diakui oleh Bank Dunia, bahwa
program restrukturisasi tidak banyak membantu Afrika. Fenomena yang sama juga
berlaku untuk negara-negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Meksiko
dan Asia seperti Thailand dan Filipina.
Khusus untuk
kawasan Asia, para ekonom sering mengklaim bahwa kebijakan-kebijakan di atas
membawa dampak positif terhadap perumbuhan ekonomi. Fokusnya sering terarah
pada kasus Korea, Singapure, dan Taiwan, serta Thailand, dan Indonesia selama
tahun 1980-an hingga 90-an sebelum terjadinya krisis. Khusus untuk kasus
Indonesia dan Thailand, meskipun diakui bahwa dilihat dari GDP-nya, terjadi
peningkatan dari tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, namun pada akar rumput,
kebijakan-kebijakan yang datang atas nasehat dari Bank Dunia dan IMF telah
menghancurkan pertanian lokal, meningkatkan arus urbanisasi, meningkatkan
eksploitasi terhadap buruh lokal, dan memperlebar jurang antara miskin dan kaya.
Khusus untuk Thailand, kebijakan-kebijakan di atas menghancurkan pertanian yang
sering menjadi sumber kehidupan masyarakat rural. Dampaknya banyak rakyat yang
meninggalkan area rural dan pertanian mereka untuk mencari kerja di area
perkotaan. Dari sejumlah itu, ada yang terjerumus ke dalam prostitusi, dan juga
ada yang menjadi obyek perdagangan dengan apa yang disebut “Human Trafficking.”
Dalam konteks
hubugan antara Negara-negara Utara dan Selatan, utang luar negeri juga secara
terus menerus memperlebar jurang antara Utara dan Selatan. Contohnya, hingga
sekarang, 5% penduduk dunia menguasai 80% sumber ekonomi global sementara yang
menyisakan 20% sumber daya ekonomi untuk 95% penduduk dunia. Dengan pengalaman
global tersebut, pada saat ini banyak kalangan yang sudah mulai melakukan
kampanhe global untuk membatalkan semua proses pembayaran kembali terhadap
utang luar negeri oleh negara-negara Selatan.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam konteks hubungan antar bangsa,
setiap bangsa selalu memiliki transaksi untuk meningkatkan ekonomi, pertahanan
dan kemampuan suatu Negara. Karena latar belakang saling membutuhkan dan pada
Negara ketiga diberi pinjaman, baik dari Negara dunia pertama ataupun Negara
dunia kedua. Hal ini juga tidak lepas dari adanya perekonomian suatu Negara
yang mengalami krisis keuangan atau deficit maka untuk memenuhi kebutuhan dalam
negerinya, maka Negara tersebut melakukan pinjaman dari Negara lain.
Comments
Post a Comment